Berbincang-bincang mengenai toleransi, erat kaitannya dengan keberagaman. Toleransi ialah jalan untuk saling menghargai keberagaman dalam masyarakat. Keberagaman dapat diperhatikan dari masyarakat indonesia yang hidup bersama dengan kultur, kebiasaan hingga kepercayaan yang berbeda. Hidup dalam keberagaman tidak selalu menjadikan kehidupan yang harmonis. Berbagai perbedaan dalam keberagaman sering kali menimbulkan disintegrasi dalam masyarakat. Indonesia sendiri pun masih sering kali kali bergulat dengan disintegrasi sosial hal yang demikian. Yang tersebutlah yang menimbulkan pertanyaan mengenai eksistensi toleransi dalam keberagaman. Toleransi sebetulnya dapat diklasifikasikan menjadi toleransi kultur, agama, hingga politik. Ketiga hal hal yang demikian–kultur, agama, dan politik, selalu menjadi urgensi disintegrasi sosial dalam masyarakat indonesia. Bila ditelisik lebih dalam lagi, ketiga hal hal yang demikian sering kali dikaitkan untuk menimbulkan perpecahan yang lebih mendalam.

Terdapat berjenis-ragam peristiwa di beberapa daerah di indonesia yang menimbulkan perpecahan karena melalaikan toleransi. Yang hal yang demikian sungguh berbeda dari motto bangsa indonesia yakni, “bhineka tunggal ika” yang ialah filosofi penting mengenai keberagaman dan toleransi. “berbeda-beda, namun tetap satu jua”, ialah filosofi dari bhineka tunggal ika. Filosofi hal yang demikian telah digaungkan sejak zaman kerajaan sebelum kemerdekaan indonesia. Berkaca saat ini pun, motto hal yang demikian selalu bergema, seolah tidak lekang oleh waktu. Berdasarkan dari peristiwa yang melalaikan toleransi, sudah harus masyarakat indonesia memiliki bet 10 kesadaran diri mengenai keberagaman. Di sisi lain, tidak semua daerah di indonesia yang masyarakatnya belum memiliki kesadaran diri mengenai toleransi, masih terdapat beberapa daerah yang hidup harmonis dengan toleransi. Salah satunya ialah bali yang dikenal dengan pariwisata dan adat istiadatnya. Sisi lain dari bali dapat diperhatikan dari kehidupan multikultural dalam hidup berdampingan.

Kearifan Lokal Dan Toleransi Dalam Keberagaman Masyarakat Bali

Padahal data badan pusat statistik (bps) provinsi bali, terdapat 3.247.283 penduduk yang beragama hindu. Kecuali 520.244 penduduk beragama islam, 64.454 penduduk beragama katolik, dan penduduk yang beragama protestan sebanyak 31.397. Padahal itu, penduduk yang beragama budha sebanyak 21.156 dan 427 penduduk menganut konghucu. Beberapa mayoritas masyarakat bali beragama hindu, tetapi tidak menutup hidup berdampingan dalam keberagaman. Dalam kehidupan masyarakatnya, terdapat kultur yang tidak dapat dipisahkan, yakni kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun. Sendi-sendi kehidupan yang harmonis di bali sebetulnya pun tidak bisa terlepas dari kearifan lokal yang merekat pada masyarakatnya. Kebudayaan bali yang secara hakikatnya dilandasi oleh poin-poin yang bersumber pada ajaran hindu, pada akibatnya menyatu menjadi kearifan lokal.

Masyarakat bali mengakui adanya perbedaan (rwa bhineda) yang terjadi dampak faktor ruang (desa), waktu (kala), serta kondisi riil di lapangan (patra). Konsep desa, kala, patra inilah yang menyebabkan kebudayaan bali akibatnya memiliki ragam yang pelbagai (mashad, 2014: 6). Dengan kata lain, konsep ­desa–kala–patra ini menjadi landasan perbedaan adat-istiadat antar wilayah pun antar desa di bali. Pada saat yang sama pula, kebudayaan ini bersifat fleksibel, namun selektif dalam menerima dampak kebudayaan luar. Atas kesadaran keberagaman inilah masyarakat bali memiliki semangat toleransi dan persamaan dalam bentuk konsepnya yakni, tat twam asi (aku ialah kamu, kamu ialah aku) yang memiliki filosofi bahwa orang lain sama dengan diri sendiri, seperti itu pula sebaliknya. Konsep tat twam asi ini kemudian berkembang dalam hubungan antar manusia melalui kearifan lokal lainnya, yakni nyama braya. Nyama berarti kerabat dekat dan braya memiliki arti kerabat jauh (mashad, 2014: 7-8).

Filosofi dari nyama braya ini ialah kerabat jauh yang berbeda agama, namun tinggal bersama saling berdekatan. Yang hal yang demikian dapat diperhatikan dari berjenis-ragam pemukiman yang multikultur yang ada di tiap-tiap kabupaten. Pun diantaranya ialah; kampung islam loloan, jembrana yang penduduknya menggunakan bahasa campuran antara melayu dengan kosa kata bali. Padahal itu terdapat pula kampung pegayaman, buleleng yang 90% penduduknya ialah muslim. Terdapat akulturasi kultur yang benar-benar kental seperti halnya saat idul fitri, warga pegayaman banyak mengenakan pakaian ataupun aksesoris ala bali. Kecuali nama-nama penduduk ialah perpaduan elemen nama bali, arab, dan jawa. Di sisi lain terdapat kampung gelgel, klungkung yang dipercaya sebagai pemukiman muslim tertua di bali yang memiliki kultur “ngaminang”, yakni buka puasa bersama lintas umat saat bulan ramadan. Terdapat pula kampung kecicang islam, karangasem di mana seluruh penduduknya beragama islam dan memiliki seni tari “rudat melayu” yang beralkulturasi dengan kultur bali dan timur tengah. (astarini, 2018). Yang ini memperlihatkan bahwa hubungan antara masyarakat di kampung islam dengan masyarakat lainnya pun harmonis.

Kecuali hanya pemukiman muslim, terdapat pula pemukiman warga kristen yakni banjar tuka, dalung untuk katolik dan dusun untal-untal, bandel untuk protestan. Kemudian daerah pedalaman di desa gumbrih dan palasari, jembarana serta desa piling dan negasta, tabanan. Terdapat kultur unik pada umat kristen di bali seperti halnya; saat hari raya natal sebagian besar warga menggunakan pakaian adat umat hindu bali saat melakukan ibadah. Gereja-gereja yang dihiasi slot garansi pohon natal juga dihiasi dengan penjor yang ialah ciri khas kultur bali (sutika, 2012).

Padahal kehidupan multikultur dalam pemukiman dan akulturasi kultur bali dengan umat islam dan kristen, terdapat pula komplek peribadatan lima agama yang dianut di indonesia yang berdampingan dan tanpa sekat. Kecuali puja mandala, yang terletak di kawasan tamasya nusa dua yang memiliki tempat ibadah yakni; masjid agung ibnu batutah, gereja katolik maria bunda seluruh bangsa, vihara buddha guna, gereja protestan gpkb jemaat bukit doa, dan pura jagatnatha. Padahal sebagai tempat ibadah, puja mandala juga menjadi tempat pengerjaan dialog remaja lintas agama di bawah naungan forum kerukunan umat beragama (fkub) pada tahun 2013. Forum diskusi ini mendatangkan pemuda-pemudi dari enam agama di indonesia, yakni; islam, katolik, protestan, hindu, budha, dan kong hu chu. Acara ini melakukan seminar yang mengambil tempat di gereja maria bunda seluruh bangsa dan pentas seni yang bertempat di masjid agung ibnu batutah. Kenyataan hidup berdampingan dalam keberagaman ini ialah salah satu format persatuan dan harmonisasi di luar berjenis-ragam peristiwa anti-toleransi yang saat ini membuat ‘gerah’ masyarakat indonesia.

Padahal format toleransi hal yang demikian, pada saat hari raya besar keagamaan, masyarakat di bali saling membantu satu sama lain. Sepertihalnya saat hari raya nyepi yang sekali-sekali terlaksana pada hari jumat dan bertepatan dengan sholat jumat. Pada saat nyepi, sebetulnya tidak diperkenankan mengerjakan aktivitas, tetapi umat muslim diperkenankan untuk melakukan ibadahnya. Umat muslim juga mengerti untuk tidak menggunakan pengeras suara agar tidak menganggu hari raya nyepi. Padahal itu, para pecalang (polisi adat di bali) yang menjaga kemanan saat nyepi, turut serta menjaga keamanan umat muslim yang sedang beribadah. pula saat perayaan hari raya umat kristiani yang juga dijaga kemanannya oleh pecalang. Yang ini terjadi saat perayaan jumat agung untuk umat kristen pada tanggal 19 april 2019 dimana pada saat itu pula terdapat hari raya umat hindu, yakni purnama sekaligus sholat jumat pada umat muslim. Pada saat itu, jalanan ramai karena terdapat ibadah di lokasi yang berdekatan, namun tidak menghalangi ibadah masing-masing umat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa di bali walaupun mayoritas masyarakatnya ialah hindu, namun sama sekali tidak menyurutkan kans umat lain untuk beribadah.

Mengenai pertanyaan mengenai eksistensi toleransi dalam kehidupan sosial saat ini, dapat direpresentasikan melalui kehidupan yang pelbagai pada masyarakat bali. Kearifan lokal mengenai hidup berdampingan sudah berakar sejak dahulu dalam masyarakat bali. Konsep-konsep kearifan lokal mengenai rwa bhineda yang menerima perbedaan, tat twam asi yang merefleksikan diri sama dengan orang lain, hingga nyama braya yang menganggap orang lain seperti saudara membuat masyarakat bali menjadi terbiasa menerima perbedaan. Kearifan lokal tersebutlah yang selalu merwat toleransi di pulau bali. “clebingkah batan biu, bumi linggah ajak liu”, ialah slot bet 200 pribahasa bali yang berarti di dunia ini terdiri dari banyak orang yang pelbagai. hidup yang harmonis dalam keberagaman ialah melalui toleransi. Merawat toleransi, hanya bisa dilakukan kalau seluruh masyarakatnya memiliki kesadaran untuk mewujudkannya. Hidup di indonesia sudah pasti akan hidup berdampingan dalam keberagaman. Kearifan lokal mengenai keberagaman dan menerima perbedaan sudah harus selalu diingat dan diterapkan demi merawat toleransi.